Translate

Minggu, 13 April 2014

Penyelesaian Persamaan Diferensial : PD Tidak Homogen

#EduStory 73: Cerita Imajinasi atau Berbohong?

Author : rudicahyo | July 5, 2013 at 2:20 pm

Banyak anak-anak suka bercerita, termasuk menceritakan imajinasinya. Ketika menceritakan apa yang tidak nyata, apakah berarti anak berbohong? Cerita imajinasi atau berbohong?
Beberapa waktu lalu, ada obrolan beberapa ibu tentang anaknya yang berbohong kepada mereka. Karena ketemu denganku, mereka tertarik untuk membahas tentang bercerita. Semakin lama, obrolannya semakin nyambung, antara topik berbohong yang sudah mereka bahas sebelumnya dengan topik bercerita. Ada sebuah pertanyaan yang menarik, apakah dengan kemampuan bercerita, anak akan lebih mudah berbohong?
Berawal dari sini, #EduStory membahas tentang kemampuan bercerita sehubungan dengan berbohong yang dilakukan oleh anak. Untuk membahas tentang kekhawatiran orangtua tentang kemungkinan anak berbohong melalui cerita, mari kita pahami dulu pembagian dua jenis cerita.
Seperti yang sudah pernah aku bahas di FREE e-book Indonesia Bercerita, ada pembagian cerita menjadi dua bagian besar, yaitu cerita history dan imajinasi. Apa itu?
Cerita history adalah cerita yang berisi peristiwa yang sudah pernah terjadi. Cerita ini menunjuk kepada fakta serta terikat pada ruang dan waktu. Artinya, kejadian yang diceritakan di dalamnya pernah ada di sebuah tempat dan pada suatu waktu. Tak perlu membayangkan cerita tentang Perang Diponegoro atau Kerajaan Majapahit. Perhatikan contoh kalimat ini, “Tadi pagi, ibu pergi ke pasar. Pulangnya, aku dibelikan seekor kelinci putih yang lucu”. Ini juga termasuk contoh kalimat di cerita jenis history.
Berbeda dengan cerita imajinasi. Cerita jenis ini berisi peristiwa rekaan yang belum pernah terjadi. Cerita jenis ini tidak terikat oleh ruang dan waktu. Coba perhatikan kalimat ini, “Suatu pagi, ibu Cita pulang dari pasar. Ibu membelikan Cita seekor kelinci putih yang lucu”. Bandingkan dengan contoh pada paragraf sebelumnya. Isinya serupa, namun pembedanya adalah pada isinya dan bagaimana gaya penyampaiannya.
Berdasarkan isi, kita bisa membedakan kedua jenis cerita tersebut. Pertama, apakah cerita tersebut menunjuk kenyataan yang benar-benar terjadi atau rekaan yang tak pernah ada. Kedua, kita lihat keterikatannya terhadap ruang dan waktu. Tidak mudah memang. Karena itu, kita perlu lihat gaya berceritanya.
Gaya bercerita pada cerita jenis history dan imajinasi berbeda. Cerita history bersifat lebih ‘berat’. Nah loh, apa itu? Bayangkan aja benda yang berat. Benda yang berat itu karena ada keterikitan dengan tempat dan ditarik oleh gravitasi. Apa artinya? Cerita history mengacu kepada kejadian nyata, melekat pada tempat dan waktu yang ditunjuk. Karena itu, pada cerita history banyak menyebut waktu dan nama tempat secara spesifik.
Sebaliknya, cerita imajinasi bersifat ringan. Karena tidak harus menunjuk tempat dan waktu spesifik, maka cerita imajinasi tak melekat padanya. Penyebutan ‘suatu hari’, ‘di sebuah kerajaan’, ‘dahulu kala’ menunjukkan ketidakterikatan pada waktu dan tempat yang spesifik. Karena itu, cerita imajinasi lebih mudah ‘terbang’, karena sifatnya ringan.
Lalu bagaimana mengetahui anak berbohong melalui cerita? Jika terjadi persilangan, kedua jenis cerita saling bertukar. Kalau anak menggunakan gaya bercerita history tetapi isinya imajinasi, maka anak sedang berbohong. Begitu juga ketika anak menceritakan fakta tetapi menggunakan gaya bercerita imajinatif, maka ada sesuatu yang sedang ditutupi.
Jadi tidak perlu khawatir jika anak mengembangkan imajinasinya melalui bercerita. Kakak juga tidak perlu khawatir akan dibohongi oleh anak, karna kita bisa mengetahui ciri-cirinya. Bercerita tidak membuat anak berbohong, tetapi anak mengembangkan imajinasinya melalui cerita rekaannya.
Apakah Kakak

Tags: ,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar